Di Indonesia saat ini, tes HIV masih belum bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat, seharusnya siapapun itu baik orang yang memiliki resiko tinggi seperti lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, pengguna narkoba suntik, mereka yang berganti-ganti pasangan seksual atau masyarakat yang memiliki resiko terinfeksi HIV, agar mau memeriksakan dirinya untuk tes HIV.(Baca juga: Mengapa Perlu Tes HIV?). Tempat pelaksanaan tes HIV juga pada beberapa kota sudah banyak tersedia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada beberapa daerah tertentu masih sulit bagi masyarakat untuk menjangkau layanan kesehatan yang menyediakan layanan HIV, atau terbentur dengan jam buka layanan.
Kita pasti sudah paham betul dengan fenomena gunung es HIV, pertanyaannya sudah sejauh mana capaian Indonesia untuk peduli terhadap kesehatan warga negaranya agar mereka mau dan memiliki kesadaran untuk mengikuti tes HIV secara sukarela (VCT)? (Baca juga: Komunitas ODHA Berhak Sehat sambut positif sikap Ahok untuk tes HIV).
Mengapa ternyata sampai saat ini masih banyak kasus terungkap mereka yang terinfeksi HIV namun sudah dalam keadaan AIDS (sudah terserang inferksi oportunistik)? Didapatkan data, bahwa dari awal mula munculnya kasus HIV sampai Desember 2016, terdapat 232.323 kasus HIV, dimana pada tahun 2016 sendiri ditemukan sebanyak 41.250 kasus HIV. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2015 yang ditemukan 30.395, hal ini menunjukan bahwa semakin lama kasus HIV yang ditemukan semakin banyak. Selain banyaknya kasus yang ditemukan, terlihat bahwa infeksi HIV banyak ditemukan pada usia produktif yaitu usia 25-49 tahun (68% dari total kasus HIV). (Baca juga: Hari AIDS Sedunia, “Pak SBY, maukah anda tes HIV?”).
Dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan merupakan salah satu unsur dari kesejahteraan umum, akan tetapi jika dikaitkan dengan perkembangan HIV di Indonesia, sangat terlihat jika Indonesia masih belum sejahtera dalam ranah kesehatan. Apalagi penyebaran informasi mengenai HIV masih belum merata. Lalu juga dilanjutkan pada UU Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. (Baca juga: Prajurit Paskhas TNI AU Jalani Tes HIV-AIDS dan Narkoba)
Selain itu, selama ini kesulitan yang dimiliki Indonesia untuk menangani masalah HIV yaitu berkaitan dengan informasi, stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV. Banyak yang masih memandang negative mengenai HIV, misalnya pengidap HIV masih dikaitkan dengan perilaku nakal, yang juga masih tabu di Indonesia. Hal ini juga yang membuat masyarakat menjadi takut untuk memeriksakan diri atau merasa bahwa dirinya tidak perlu tes HIV karena merasa “aman”.
Namun, kenyataannya seperti yang disebutkan oleh beberapa media, bahwa, ibu rumah tangga menempati posisi tertinggi, dimana 10.626 kasus terdapat pada ibu rumah tangga, kemudian disusul oleh tenaga non profesional/karyawan 9.603 kasus, wiraswasta 9.439 kasus, petani/peternal/nelayan 3.674 kasus, buruh kasar 3.191 kasus, penjaja seks 2.578 kasus, PNS 1.19 kasus, dan anak sekolah/mahasiswa 1.764 dalam penemuan kasus HIV. Jadi sebenarnya hal ini mematahkan bahwa HIV hanya menyerang “orang-orang nakal”.
Sebenarnya penyediaan layanan wajib tes HIV dapat mendorong masyarakat untuk peduli akan kesehatannya sendiri. Mengetahui status HIV sedini mungkin merupakan hal yang penting, jika kita mengetahui status sejak awal, kita akan lebih menghargai tubuh kita. (Baca juga: Tes dan Konseling HIV).
Di Amerika sendiri, Pusat Pengendalian Penyakir (CDC) menganjurkan warganya yang berusia 13-64 tahun bagi mereka yang beresiko, dianjurkan untuk melakukan tes setiap 6-12 bulan. Pandangan ini dirasa sangat mendukung pernyataan sikap “lebih baik mencegah daripada mengobati”, maksudnya dibandingkan jika kita mengetahui status HIV kita setelah kita mendapatkan Infeksi Oportunistik (IO) seperti TB, Hepatitis C, Toksoplasma atau sebagainya, lebih baik kita mencegahnya dengan mengetahui status kita lebih awal dan selalu menjaga pola hidup sehat kita agar IO tersebut tidak muncul. (Baca juga: 27 Juni – “Hari Test HIV” di Amerika Serikat).
Saat ini memang pada beberapa lapisan seperti pada pasangan yang ingin menikah atau pada ibu hamil, sudah menjadi syarat untuk dilakukan tes HIV, tetapi pertanyaannya apakah informasi ini sudah merata dan dilaksanakan di seluruh wilayah di Indonesia? Jika Indonesia memiliki Hari Khusus untuk Tes HIV, maka kita juga bisa dengan cepat memutuskan tindakan yang tepat untuk diri kita. tentunya tidak menutup kemungkinan jika pada hari lain masyarakat tetap melakukan tes HIV. (Baca juga: Test HIV, tidak menakutkan (Bagian 2))
Sumber:
http://lifestyle.kompas.com/read/2016/12/01/211100023/mengapa.banyak.ibu.rumah.tangga.terinfeksi.hiv.
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, Dilapor s/d Desember 2016, Ditjen PP & PL Kemenkes RI
http://www.odhaberhaksehat.org/2017/saatnya-indonesia-punya-hari-tes-hiv/
No Comment
You can post first response comment.