Halo guys, balik lagi sama gue. Gue Rudi, masih inget kan? Setelah kemaren sudah
bercerita tentang kehidupan gue setelah terinfeksi.
To be honest, setelah gue terinfeksi, gue menjadi semakin banyak takut, takut ini, takut
itu. Nah, sekarang gue mau berbagi tentang ketakutan-ketakutan yang gue pernah
rasakan, dan loe mungkin juga rasakan.
Beberapa waktu yang lalu gue sudah pernah cerita bagaimana shock-nya gue ketika
tahu terinfeksi HIV. Gue takut cepet mati, gue takut sakit, gue takut dianggap sebagai aib
buat keluarga gue.
Satu waktu gue berpikir, apakah gue akan mati cepet? Gue akan mati karena gue sakit-
sakitan dan terus gue nyusahin orang tua dan mati. Itu yang gue pikir. Gue juga pernah
mengalami yang namanya efek samping ARV yang gue konsumsi. Di minggu-minggu
pertama gue merasakan efek hebat berupa pusing, mual, dan bahkan gue pernah saking
pusingnya gue tidur seharian.
Gue takut banget dan sampai berpikir, apakah ini akan berlangsung lama? Apakah
hidup gue akan terpengaruh oleh efek ini? Apakah gue akan menjadi sakit-sakitan?
Apakah kuliah gue akan terhambat karena efek ini? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin
bertambah banyak seiring dengan berjalannya waktu. Gue memang agak tertutup dan
enggan untuk bercerita pada orang terkait permasalahan gue, dan sebagai remaja, gue
juga masih sangat labil pada saat itu.
Hingga gue akhirnya curhat dengan dokter gue tentang permasalahan gue, tentang
ketakutan gue. Untungnya dokter di RS tempat gue ambil obat sangat ramah sama gue.
Gue jadi bisa terbuka tentang kebingungan dan ketakutan gue. Setelah dapat jawaban
yang mencerahkan dari dokter, gue sadar kalau ternyata yang gue perlukan adalah
bercerita dan bertanya pada orang yang tepat.
Semakin kesini gue semakin berpikir tentang apa yang gue alami dulu tentang
ketakutan. Di dunia perkuliahan gue, yang kebetulan studi gue adalah studi ilmu sosial.
Jadi menurut Heidegger (filsuf Jerman) ia membedakan yang namanya ketakutan dan
kecemasan. Ia menjelaskan bahwa takut adalah bentuk dari rasa dimana kita sudah
tahu apa yang membuat kita takut. Contohnya loe tahu ketika loe korupsi, loe tahu loe
akan dipenjara. Berbeda dengan cemas, cemas adalah ketika kita tidak mengetahui apa
yang menyebabkan rasa itu terjadi, misalnya loe sudah tahu kalo loe korupsi loe akan
dipenjara, tapi loe gak tahu kapan loe akan dipenjara, loe gak tahu bagaimana rasanya
dipenjara.
Menurut Heidegger, satu-satunya kepastian dalam hidup adalah kematian—menurut
gue juga masa lalu. Demikian menjadi ODHA, kita tahu kita akan mati, dan kita takut
akan itu. Namun kita cemas bagaimana kita akan mati, dan kita akan cemas apakah
status kita sebagai ODHA akan mengantarkan kita pada kematian. Siapa yang tahu. Tapi
ketika gue refleksi lagi, ketakutan-ketakutan gue itu wajar. Ketakutan itu juga dirasakan
orang yang non ODHA, demikian juga dengan orang yang hidup sehat. Mereka akan mati
bukan? Lalu apa yang kita takuti? Kita punya ketakutan yang sama dengan orang lain.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya justru dengan status gue sebagai ODHA, gue harus
hidup lebih baik lagi, hidup gue harus lebih sehat lagi. Gue gak mau gue mati karena gue
sakit, karena itu gue selalu rutin mengonsumsi ARV setiap hari, yang meskipun gak
enak, dan kadang ada rasa bosan, tapi gue coba lawan. Gue juga percaya, ilmu dan
teknologi semakin berkembang. Dulu yang namanya influenza tidak bisa disembuhkan,
dan akhirnya bisa disembuhkan. Gue percaya bahwa HIV meskipun sekarang belum
bisa disembuhkan, tapi gue yakin nanti bisa disembuhkan secara total, dan gue gak
harus minum ARV lagi nantinya. Siapa tahu 1 atau 2 tahun lagi sudah ditemukan
obatnya.
Beberapa waktu yang lalu gue juga sempet baca artikel tentang ODHA. Awalnya gue gak
yakin kalo ODHA bisa hidup sampai 21 tahun lamanya mengonsumsi ARV. Hingga pada
akhirnya gue bertemu dengan orangnya langsung. Dia ternyata sehat banget dan
memberi nasihat dan tips-tips yang bikin gue jadi semakin yakin dan termotivasi untuk
hidup lebih sehat lagi.
Gue yakin bisa.
Rudi, 19 tahun, Jakarta
No Comment
You can post first response comment.