Sekitar 2 tahun lewat 4 bulan yang lalu gue dinyatakan oleh dokter bahwa di dalam tubuh gue ada virus HIV yang kemungkinan besar sudah gue dapat sejak beberapa tahun belakangan.

Saat itu gue hanya bisa diam dan mendadak seperti orang koma yang bisa melihat setiap gerakan bibir yang dilakukan dokter itu tapi tidak ada satu kata pun yang dapat didengar oleh telinga gue. Butuh waktu beberapa saat buat gue untuk bisa menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang menanti, sebuah kenyataan yang harus gue hadapi untuk bisa melanjutkan hidup dengan status HIV+.

Meskipun cukup shock, saat pertama kali tahu bahwa gue HIV+ reaksi gue sebenarnya tidak seheboh orang kebanyakan, mungkin karena gue sudah terbiasa dengan kehidupan gue yang cukup sulit. Saat itu gue sudah cukup lama hidup tanpa ada keluarga, dan terbiasa menjalani hidup dan berjuang sendiri sepertinya cukup mengalahkan ketakutan gue untuk hidup sebagai ODHA.

Tapi itu 2 tahun yang lalu. Sekarang gue jauh lebih baik dari waktu itu, terutama setelah gue bertemu dan menjalin hubungan dengan pasangan gue sekitar 1 tahun yang lalu dan telah menemani gue hingga sekarang. Sejak bersama pasangan gue ini, gue jadi merasakan lagi sebuah hubungan yang terasa seperti gue punya keluarga lagi. Dia juga lah yang kemudian memperkenalkan gue dengan teman-teman di dalam sebuah kelompok dukungan sebaya untuk orang dengan HIV/AIDS di kota tempat gue tinggal sekarang.

Buat gue, kelompok ini seperti sebuah kunci jawaban, seperti mata air di tengah gurun pasir, seperti cahaya lilin di ruangan yang gelap, dan seperti kain hangat yang tebal di saat cuaca dingin datang. Terdengar berlebihan memang tapi itu kenyataannya, dan seperti pasangan gue, teman-teman yang gue kenal di dalam kelompok itu sekarang adalah keluarga buat gue.

Mereka adalah orang-orang yang dapat menerima semua kekurangan dan kelebihan gue, mereka adalah orang-orang yang mampu memberikan ‘tongkat’ di saat gue kesulitan berjalan menghadapi kehidupan dengan status gue dan terus melanjutkan hidup dengan penuh banyak arti.

Keluarga ini tidak hanya memberikan dukungan dan jalan keluar dari setiap masalah yang hadir tapi juga memberikan kekuatan kepada setiap orang di dalamnya bahwa setiap orang itu sangat berarti, berguna dan berharga untuk sesamanya walaupun dia HIV+ atau orientasi seksualnya beda.

“Keluarga adalah keluarga, kita tertawa, salah mengerti, bertengkar, saling mau benarnya sendiri, terkadang saling mendiamkan, rukun lagi, tertawa lagi, lalu tersinggung lagi, lalu saling menuduh,lalu menangis, lalu sedih, lalu rukun lagi, tertawa lagi, dan begitu, dan seperti itu, dan seterusnya. Tapi itulah keluarga, tanpanya kita bukan apa-apa.” ~ Mario Teguh

Sekarang hidup gue jauh lebih bahagia, memiliki keluarga dan dekat dengan orang-orang yang menyayangi tanpa ada syarat satu pun. Tuhan telah memberikan gantinya sebuah keluarga bukan berasal dari darah daging yang sama dengan gue, tapi mereka adalah orang-orang hebat, malaikat berjubah manusia, hati yang terbuat dari ketulusan, sikap yang dibentuk dari keikhlasan, dan pemikiran yang diciptakan dari rasa sayangnya untuk gue.

Inilah yang dibutuhkan orang-orang seperti gue, sebuah kelompok dukungan yang tidak hanya untuk memberikan support saja tapi memberikan sebuah keluarga yang membuat gue dan teman-teman lainnya merasa inilah rumah kedua yang dapat menyiapkan mental dan kepercayaan diri bisa kembali ke masyarakat dan sama seperti yang lainnya.

Bagus (33 tahun), Bandung

You may also like

No Comment

You can post first response comment.

Leave A Comment

Please enter your name. Please enter an valid email address. Please enter a message.